Senin, 11 Agustus 2008

KORUPSI DAN GRATIFIKASI

I. Pendahuluan

Permasalahan korupsi merupakan permasalahan serius dalam suatu bangsa dan merupakan kejahatan yang luar biasa serta dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak tahun 1998, masalah pemberantasan dan pencegahan korupsi telah ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagai salah satu agenda reformasi, tetapi hasil yang dicapai belum sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini berdampak semakin melemahkan citra Pemerintah dimata masyarakat, yang tercermin dalam bentuk ketidakpercayaan masyarakat, ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum, dan bertambahnya jumlah angka kemiskinan absolut. Apabila tidak ada perbaikan yang berarti, maka kondisi tersebut akan sangat membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa.

Cukup banyaknya peraturan perundang-undangan mengenai korupsi yang dibuat sejak tahun 1957, sebenarnya memperlihatkan besarnya niat bangsa Indonesia untuk memberantas korupsi hingga saat ini, baik dari sisi hukum pidana material maupun hukum pidana formal (hukum acara pidana). Namun demikian, masih ditemui kelemahan yang dapat disalahgunakan oleh pelaku korupsi untuk melepaskan diri dari jerat hukum.

Terlepas dari kuantitas peraturan perundang-undangan yang dihasilkan, permasalahan utama pemberantasan korupsi juga berhubungan erat dengan sikap dan perilaku. Struktur dan sistem politik yang korup telah melahirkan apatisme dan sikap yang cenderung toleran terhadap perilaku korupsi. Akibatnya sistem sosial yang terbentuk dalam masyarakat telah melahirkan sikap dan perilaku yang permisif dan menganggap korupsi sebagai suatu hal yang wajar dan normal.

Tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat tampil dalam bermacam-macam bentuk. Secara umum bentuk ini mengandung karakteristik sebagai berikut :

a. Adanya pelaku, baik sendiri ataupun bersama-sama, baik yang berupa pegawai negeri maupun non pegawai negeri.

b. Adanya penyimpangan/perbuatan melanggar hukum.

c. Adanya unsur merugikan negara (langsung maupun tak langsung), tangible maupun non tangible.

d. Adanya unsur atau bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri/keluarga/ kroni.

Keprihatinan pemerintah dewasa ini dan peliknya karakteristik korupsi sebagaimana diuraikan di atas sudah selayaknya disikapi secara bersama-sama oleh seluruh aparat pemerintah, tulisan ini mencoba memberi sumbangan pada pembahasan itu dengan mengangkat topik, sejauh mana pengawasan dapat berperan dalam pemberantasan korupsi.

II. Permasalahan

Penyebab korupsi dapat dikelompokkan ke dalam aspek institusi/ administrasi, aspek manusia, dan aspek sosial budaya. Ketiga aspek penyebab tersebut saling berinteraksi satu dengan lainnya sehingga menyebabkan terjadinya potensi dan kejadian korupsi.

Di dalam suatu organisasi, faktor pendorong korupsi antaralain termanifestasikan dalam bentuk tekanan, pembenaran, serta kesempatan untuk melakukan korupsi. Dari luar organisasi, dorongan dan pengaruh bagi tindak pidana korupsi akan dapat dijumpai dari sikap publik yang permisif terhadap cara dan akibat korupsi sehingga secara relatif dapat diartikan sebagai memfasilitasi pelaksanaan korupsi.

Dampak korupsi sangat berbahaya bagi individu, kelompok individu, organisasi, masyarakat, institusi, bahkan bangsa dan negara. Dampak tersebut dapat dirasakan seketika maupun secara perlahan-lahan, namun pasti. Secara


umum dampak itu dapat berupa kerugian negara, ekonomi berbiaya tinggi, inefisiensi dan mis alokasi sumber daya negara, atau kompetisi yang tidak sehat. Selanjutnya, semua dampak ini akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang tinggi tingkat risikonya sehingga tidak menarik bagi dunia investasi global.

Akan tetapi, yang tak kalah memprihatinkan adalah dampak korupsi bagi pembentukan sikap pandang masyarakat sehari-hari. Ditengarai, masyarakat dewasa ini cenderung tidak berkeberatan atau setidaknya abai tentang perilaku korupsi. Akibatnya, kondisi yang serba abai ini akan dapat menjelma menjadi serba mengijinkan (permisif). Lama-kelamaan kondisi sosial ini akan berpotensi memberi ruang pembenaran bahkan kesempatan bagi pelaksanaan korupsi. Karena, bukannya menjadi sumber nilai-nilai yang benar, baik dan pantas, kondisi sosial yang serba mengijinkan ini justru akan dapat menimbulkan kekaburan patokan nilai-nilai. Akibatnya korupsi pun menjadi hal yang biasa. Termasuk didalam kebiasaan melakukan pungutan tambahan atas proses pengurusan pembayaran pajak, perijinan, pengurusan pasport dan pengurusan KTP, maupun penerimaan baik berupa barang atau uang yang diterima oleh penyelenggara negara maupun pegawai negeri apabila ada kaitan langsung terhadap tugasnya. Maka penerimaan tersebut dapat dikategorikan penerimaan gratifikasi. Di dalam Undang-undang No.20 tahun 2001 pasal 12b pemberian gratifikasi tersebut dianggap perbuatan suap dan masuk kategori korupsi.

III. Konsep Pemberantasan Korupsi

Dikaitkan dengan permasalahan korupsi yang telah diuraikan terdahulu, maka upaya memberantas korupsi dilakukan dengan konsep yang mampu mencegah dan menanggulangi korupsi. Konsep tersebut hendaknya meyakinkan bahwa :

a. Organisasi pemerintahan mampu mencegah, menangkal serta dapat denganmudah untuk mendeteksi kejadian korupsi melalui serangkaian upaya kegiatan menurut pendekatan preventif.

b. Jika belum dapat atau tidak dapat mencegah, setiap organisasi pemerintahan dapat segera mendeteksi, mengungkapkan fakta kejadian, dan menindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku melalui serangkaian kegiatan menurut pendekatan investigatif/Represif.

c. Setiap organisasi pemerintahan perlu berupaya meningkatkan kepedulian individu di dalam dan di luar organisasi untuk dapat mendorong peran memerangi korupsi sesuai dengan kemampuan/peran yang dimiliki melalui upaya edukatif.

Pendekatan di atas itu kini kita kenal sebagai Pendekatan Tiga Pilar, yaitu Preventif, Investigatif, dan Edukatif.

Kembali pada topik pengawasan, selama ini pengawasan lebih diartikan sebagai pemeriksaan atau auditing yang per definisi merupakan kegiatan yang asosiatif dengan pengumpulan bukti-bukti atas kejadian yang telah terjadi (post factum). Simpulan yang diperoleh pun akan menjadi dasar bagi pemberian penilaian dan atau rekomendasi dengan manfaat maksimal berupa pelaksanaan tindak lanjut yang tentu dari sudut pandang pihak atau sistem yang menjadi objek tindak lanjut lebih bersifat represif.

Jika pihak yang menjadi objek tidak lanjut adalah koruptor, maka tindak lanjut represif itu secara umum akan dapat berupa pengenaan kewajiban penyetoran uang ke kas negara, pengenaan denda, atau bahkan kurungan. Jika yang menjadi objek tindak lanjut adalah sistem yang telah membukakan kesempatan pelaksanaan korupsi maka tindak lanjut itu akan dapat mengambil bentuk berupa pengubahan, penggantian, atau penghapusan sistem dimaksud. Pada keduanya, represi lebih terlihat sebagai suatu represi formal. Akan tetapi, jika dikembalikan betapa korupsi sangat terkait dengan kondisi sosial, represi dalam bentuk sanksi sosial masih kurang terlihat signifikansinya. Bisa jadi, hal ini kembali disebabkan masih lebih besarnya kesan bahwa masyarakat, sebagai sumber moralitas, cenderung permisif, kurang atau bahkan tidak peduli terhadap korupsi.

Dengan demikian, keberhasilan kegiatan memerangi korupsi secara represif, yaitu setelah korupsi terjadi, adalah bersifat paradoksal. Walaupun dari hasil pengawasan semakin banyak tindak pidana korupsi yang dideteksi dan ditindaklanjuti, keduanya sebenarnya bukan merupakan kondisi umum yang dikehendaki masyarakat. Pada dasarnya, betapa banyaknya pun dideteksi dan ditindaklanjuti secara represif, korupsi bukan kejadian yang dikehendaki masyarakat.

Selain itu data empiris menunjukkan bahwa :

a. Melakukan tindakan/upaya setelah korupsi terjadi berarti telah memberi peluang bagi dampak korupsi untuk timbul (misalnya kerugian keuangan negara, mis alokasi sumber daya, dll).

b. Waktu yang diperlukan untuk mendeteksi kejadian korupsi rata-rata adalah delapan belas bulan, sebelum temuan pendeteksian itu ditindaklanjuti dengan audit yang mendalam dan diproses dengan tindakan hukum. Lamanya waktu pendeteksian ini membawa konsekuensi berupa biaya pengungkapan kegiatan yang semakin besar.

c. Semakin kecil selang waktu antara kejadian korupsi dengan upaya pengungkapan kejadian korupsi, semakin besar kemungkinan keberhasilan pengungkapan kejadian korupsi.

d. Korupsi adalah kejahatan yang tersembunyi, sehingga semakin lama kejadian korupsi tidak terungkap semakin memberi peluang pelaku korupsi untuk menutup-nutupi tindakakannya dengan kecurangan yang lain.

Dengan demikian, kegiatan yang lebih memungkinkan pemberantasan korupsi yang efektif dan efisien sehingga masuk akal adalah mencegah korupsi sebelum terjadi. Implementasi dari konsepsi memerangi korupsi yang sistematis dan konkrit seperti tersebut diatas memerlukan peran pengawasan yang dimaknai tidak sekedar pengawasan post factum.

Dengan demikian, agar terimplementasikan suatu peran pengawasan yang sistematis dan konkrit untuk menjembatani antara komitmen pemerintah dalam memerangi korupsi dengan kegiatan organisasi sehari-hari dalam upaya mencapai tujuan organisasi, perlu dikembangkan suatu mekanisme pengawasan yang dapat memfasilitasi penguatan sistem ata kelola suatu organisasi. Karakteristik pengawasan seperti ini lazim dikenal dalam wacana pengawasan sebagai pengawasan internal.

Mengingat bahwa korupsi adalah suatu masalah yang bersifat tersembunyi (sengaja disembunyikan), maka mekanisme pengawasan tersebut ditandai dengan kemampuannya meyakinkan pemantapan kualitas dari atribut-atribut yang spesifik dari sistem tata kelola setiap organisasi pemerintah. Atribut-atribut tersebut adalah sebagai berikut :

a. Kebijakan yang terintegrasi

b. Struktur pertanggung jawaban

c. Kajian risiko kejadian korupsi

d. Keperdulian pegawai

e. Keperdulian pelanggan dan masyarakat

f. Sistem pelaporan kejadian korupsi

g. Pengungkapan yang dilindungi

h. Pemberitahuan kepada pihak eksternal

i. Standar investigasi

j. Standar perilaku dan disiplin

Konkritnya, pengawasan dapat berperan dalam meyakinkan sejauh mana kesepuluh atribut di atas telah terwujud dan diterapkan. Manfaat paling awal dari pengawasan internal yang baik adalah bahwa ia dapat mengumpulkan informasi mengenai perkembangan perwujudan dari masing-masing atribut.

IV. Simpulan

Apabila pengawasan yang handal, termasuk pengawasan internal diimplementasikan secara konkrit dan sistematis, maka diharapkan upaya memerangi korupsi dapat berhasil dengan indikator umum berupa :

a. Semakin banyak organisasi pemerintahan yang mengimplementasikan mekanisme anti korupsi dengan atribut tersebut diatas.

b. Semakin meningkatnya jumlah dan cakupan informasi kejadian korupsi dari masyarakat.

c. Semakin banyak kejadian korupsi yang terungkap dan ditindaklanjuti dalam waktu relatif singkat.

d. Semakin banyak tindakan represif atas kasus korupsi yang didukung dengan keahlian pengawasan.

Lebih khusus lagi, pengawasan internal diharapkan dapat lebih berperan dalam memberantas korupsi dengan penekatan preventif, investigatif/repreif dan edukatif. Memang, dalam kondisi masyarakat yang membutuhkan terapi lanjut, efek demonstratif pengawasan represif mungkin akan efektif meningkatkan citra keberhasilan pemberantasan korupsi dalam jangka pendek. Akan tetapi, hal ini pun sebenarnya sangat bergantung pada kerjasama para penyidik dan pengadilan untuk menindaklanjuti perkara sehingga dapat menghasilkan keputusan hukum yang berkepastian dalam porsi yang lebih besar daripada keputusa hukum yang sumir atau bahkan batal karena pembuktian yang lemah atau dilemahkan.

Adanya mekanisme manajemen yang didukung oleh pengendalian intern yang didukung oleh kepastian akan sangat memungkinkan menciptakan sistem yang mengurangi kesempatan korupsi. Kemudian pada akhirnya niat sebagai faktor penimbul korupsi diyakini akan terhambat oleh sistem yang baik.

Akan tetapi, dalam jangka panjang, keberhasilan pemberantasan ini akan lebih bergantung pada keberhasilan mengurangi niat dan peluang pembenaran korupsi. Hal ini secara subtil membutuhkan rekayasa tatanan sosial yang lebih beretika. Untuk itu, paradoks keberhasilan represif harus diikuti dengan efektivitas pengawasan preventif dan edukatif.

Disini peran pengawas tidak akan maksimal tanpa diikuti oleh peran profesi lain seperti sosiolog, politisi, pendidik, ulama dan masyarakat sendiri. Bagaimanapun, kecenderungan masyarakat untuk abai dan permisif terhadap tindak korupsi membutuhkan pembangunan mental lebih daripada sekedar penindakan. Jadi serangkaian kegiatan edukatif dari pihak-pihak tersebut perlu untuk menumbuhkembangkan sikap yang peduli dan mengarah pada keberpihakan akan nilai-nilai kebenaran berdasarkan hukum dan etika. Hal ini diyakini akan mengurangi niat dan pembenaran korupsi. Niat dan pembenaran tindakan korupsi akan tumbuh bersama sikap abai dan serba mengijinkan akan sangat mempengaruhi secara negatif penciptaan insan yang berintegritas, baik pada manajemen di tingkatan pemimpin, pelaksana, maupun masyarakat luas dan juga tentunya auditor. Integritas inilah yang pada akhirnya, disamping kompetensi dan sumber daya, yang akan dapat memberi kualitas pencapaian kinerja yang efektif dengan keyakinan bahwa kinerja itu terbebas dari korupsi.

Bagi pengawas pada umumnya dan pengawas internal pada khususnya, integritas jelas merupakan salah satu faktor di samping kompetensi dan akseptasi pimpinan yang akan mendatangkan nilai audit. Tanpa integritas, pengawas yang berkompeten pun mungkin akan terjebak pada kecenderungan pemenuhan kepentingan sendiri. Apabila jebakan ini difasilitasi dengan kekuasaan yang kuat dan mentalitas mengawas demi untuk pengawas dan lembaga pengawas sendiri, maka bukannya menjadi agen pemberantas korupsi, bisa jadi pengawas sendiri akan menjadi kolutif antara pemerintah sebagai agen masyarakat yang diawasi dan pengawas sendiri.

Akan lengkaplah kemusykilan bagi pengawasan untuk memberantas korupsi jika masyarakat sendiri sebagai wadah sosial yang diwacanakan mendambakan kebersihan dan sumber moralitas ternyata lebih digerakkan oleh sikap dan mentalitas yang permisif, tidak perduli, dan bahkan aktif menyuburkan niat, kesempatan, dan pembenaran korupsi. Dalam keadaan begini, mempersoalkan korupsi mungkin harus diawali dengan pertanyaan, “Apakah kita, aparat pemerintah, pengawas atau bukan pengawas, dan masyarakat awam secara keseluruhan memang masyarakat yang masih konsisten dan konsekuen perduli akan korupsi?”

Semarang, 27 – 11 – 2007

AL ADIB EDI SUSILO

Bagaimana menyikapi korupsi



  1. Kita biasa memandang korupsi sebagai sebuah delik tindak pidana.
  2. Pandangan ini mempengaruhi sikap kita dalam menyikapi korupsi. Memandang korupsi hanya sekedar sebagai sebuah delik tindak pidana membuat kita hanya menempatkan tindakan represif sebagai satu-satunya alat/sebagai alat terdepan dalam upaya memberantas korupsi, tanpa memikirkan pentingnya tindakan korupsi baik karena unsur kesengajaan maupun karena ketidaktahuan.
  3. Internal auditor akan lebih berdayaguna jika memiliki pandangan yang komprehensif dalam memberantas korupsi, yatiu dengan menggabungkan unsur represif dan preventif, dengan membentuk sinergi dan kerjasama yang baik (terutama) dengan unit-unit lain di dalam lembaganya.
  4. Mencegah lebih baik dan lebih murah ketimbang mengobati.

PENGAWASAN

I. PENDAHULUAN

Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah adalah menjalankan Otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,pelayanan umum dan daya saing daerah.

Untuk menjamin pelaksanaan jalannya Pemerintah Daerah berjalan dengan baik maka DPRD mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengawasan.

Sebagaimana bagian utuh dari manajemen Pemerintah Daerah, pengawasan berfungsi untuk menjamin supaya realisasi atau kegiatan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Kenyataan menunjukkan bahwa rencana dalam Lingkungan Pemerintah Daerah tidak hanya terdiri dari satu jenis atau ragam saja. Kita menemukan berbagai macam dokumen perencanaan yang dalam banyak hal harus dijalankan oleh Pemerintah Daerah secara simultan.

Oleh karena rencana merupakan dasar bagi pengawasan, maka pemahaman atas karakteristik dan coverage ( cakupan) dari setiap rencana menjadi hal yang penting sehingga dapat meningkatkan efektivitas pengawasan, khususnya yang dilakukan DPRD dan Badan Pengawas/Inspektorat Provinsi/Kab/Kota..

Dengan demikian rencana daerah berguna sebagai pedoman atau pengaruh bagi kegiatan-kegiatan Pemerintah Daerah di masa depan. Evaluasi terhadap pelaksanaan rencana daerah dapat mencakup banyak hal, telaah terhadap pelaksanaan rencana daerah dapat dipusatkan pada dua hal pokok, yakni mengenai isi rencana daerah dan konteks rencana daerah, maka konteks rencana berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan rencana, baik yang bersifat internal maupun eksternal lokal maupun nasional dan global.

Dalam bahasa analisis disebut kebijakan publik, jika tidak ada yang beda antararealisasi dengan rencananya maka disimpulkan bahwa rencana daerah terlaksana dengan baik. Pada tataran yang konkrit kesimpulan ini ditarik berdasarkan ukuran-ukuran indikator yang telah ditetapkan sebelumnya, dan ukuran tersebut built in ( melekat ) dalam rencana daerah.

_____________________________

1. Pasal 42 ayat (1) huruf C UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, DPRD mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Kepala Daerah, APBD kebijakan Pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerja sama internasional di daerah.

II. MEKANISME PENGAWASAN

Kegiatan-keegiatan DPRD dalam kerangka pengawasan daerah mengikuti berbagai mekanisme sesuai dengan jenis rencana daerah, macam kegiatan yang dilakukan pemerintah daerah, periode pengawasan dan sumber informasi bagi pengawasan, selain selaras dengan peraturan tata tertib DPRD. Uraian singkat mengenai empat jenis mekanisme pengawasan DPRD disajikan sebagai berikut :

1. Jenis Rencana Daerah.

a. Pengawasan DPRD terhadap pelaksanaan APBD dilakukan pada akhir tahun anggaran.

b. Pengawasan DPRD terhadap RENSTRA Unit Kerja dijalankan hanya pada kegiatan atau program yang dananya berasal dari APBD setempat.

2. Macam kegiatan Pemerintah Daerah

a. Pengawasan DPRD ditujukan pada kegiatan-kegiatan dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi.

b. Pengawasan DPRD pada kegiatan-kegiatan yang dijalankan berdasarkan kerja sama Pemerintah Daerah dengan pihak ketiga.

3. Periode Pengawasan

a. Pengawasan Periodik yang dijalankan DPRD pada setiap akhir tahun masa jabatan.

b. Pengawasan insidentil, yang dijalankan DPRD dalam kerangka fungsi monitoring.

4. Sumber Informasi Pengawasan

Pengawasan DPRD dijalankan berdasarkan masukan dari media masa, laporan pribadi, laporan masyarakat termasuk LSM dan organisasi sosial kemasyarakatan serta laporan dari Lingkungan Pemerintah Daerah.

Selanjutnya, DPRD dalam menjalankan fungsi pengawasan mau tidak mau harus memperhatikan peraturan yang berlaku, yang antara lain menyebutkan :

_____________________________

2. Pengukuran terhadap kinerja pemerintah daerah dapat dilakukan dengan menggunakan tiga kategori indikator,yakni indikator proses, indikator program dan indikator produk.

1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dipakai sebagai rujukan dalam menyusun Kebijakan Umum Anggaran ( KUA ) diaktualisasikan Dalan Rencana Kerja Pemerintah Daerah dan laporan pertanggung jawaban Kepala Daerah kepada DPRD. Subtansi yang termuat dalam RENTRADA hanya program dan kegiatan yang (akan) dibiayai oleh APBD setempat saja. Program kegiatan dan tugas lain yang dilaksanakan Kepala Daerah dalam rangka dekonsentrasi dan tugas pengawasan (akan) dipertanggungjawabkan oleh Kepala Daerah kepada Pemerintah Pusat.

2. Kebijakan Umum Anggaran ( KUA ) khusus memuat hanya program dan kegiatan yang (akan) dibiayai oleh APBD setempat.

3. RENSTRA Dinas yang diaktualisasikan dalam RKA-SKPD yang kemudian menjadi DPA-SKPD mencakup baik kegiatan Belanja Langsung dan Belanja Tak Langsung baik yang dibiayai dari APBN Dikonsentrasi ) maupun APBD setempat

III. Pengawasan Daerah

Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintah daerah dilaksanakan oleh pemerintah meliputi :

1. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintah di Daerah

2. pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah .³

Pembinaan dan Pengawasan atas Penyel;enggaan Pemerintah Daerah, ada 4 macam pengawasan yakni :

1. Penagawasan Reprensip

2. Pengawasan Fungsional

3. Pengawasan Legislatip dan

4. Pengawasan Masyarakat.

I. Pengawasan Represip

Penagawasan yang dilakukan terhadap kebijakan yang telah ditetapkan daerah baik berupa peraturan daerah, keputusan kepala daerah, keputusan DPRD maupun keputusan pimpinan DPRD dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah.

Alur pengawasan

3. Pengawasan Fungsional

Pengawasan fungsional dilakukan oleh Badan / Inspektorat dilingkungan Departemen/Lembaga Unit yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan, pengujian, penyusunan dan penilaian ada 2 macam pengewasan fungsional yaitu :

2.1 Ekternal Audit

2.2 Internal Audit

2.1 Ekternal Audit

Sebagaimana diatur dalam undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjadi pengawasan ekternal Pemerintah yaitu melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara/daerah, yang meliputi unsur keuangan 4.

Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh Akuntan publik berdasarkan ketentuan undang-undang , laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan.

Dalam melakukan pemeriksaan BPK, melakukan pemeriksaan atas 3 hal yaitu :

- Pemeriksaa keuangan, pemeriksaan atas laporan keuangan

- Pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan kinerja negara/daerah yang terdiri dari pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas.

- Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, suatu bentuk pemeriksaan yang tidak termasuk 2 pemeriksaan diatas.

- Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat disampaikan oleh BPK kepada DPR, dan laporan hasil pemeriksaan atas keuangan pemerintah daerah disampaikan oleh BPK kepada DPRD, laporan hasil pemeriksaan tersebut oleh BPK disampaikan paling lambat 2 bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah pusat / daerah. Disamping itu laporan tersebut juga disampaikan kepada Presiden untuk keuangan negara dan kepada Gubernu/Bupati/Walikota untuk keuangan daerah.

2.2. Internal Audit

Pemeriksaan yang dilakukan oleh aparat pengawas internal pemerintah adalah suatu identifikasi masalah, analisis dan evaluasi yang dilakukan secara independen obyektif dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan untuk menilai beberapa kecermatan kredibilitas dan kendala informasi mengenai penjumlahan dan tanggung jawab keuangan negara/daerah dan aparat pengawasan fungsional pemerintah wajib menyampaikan laporan hasil pemeriksaan kepada BPK. Sebagaimana diatur dalam pasal 222 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pelaksanaan pemeriksaan dilakukan secara berjenjang. Pemeriksaan atas pengelolaan keuangan daerah pemerintah provinsi dikoordinasikan kepada Menteri Dalam Negeri cq. Inspektorat Jendral Depdagri, untuk kabupaten/kota dikoordinasikan kepada Gubernur cq. Badan Pengawas Provinsi sedangkan untuk kecamatan dikoordinasikan kepada Bupati/Walikota cq. Badan Pengawas Kab/Kota setempat. Untuk alur pemeriksaan keuangan daerah meliputi :

_________________________________________________________

4. Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara pasal 2 yang berbunyi sebagai berikut : Keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angak 1 meliputi :

a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan menggunakan uang dan melakukan pinjaman

b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan dan negara dan membayar tagihan pihak ketiga

c. Penerimaan Negara

d. Pengeluaran Negara

e. Penerimaan Daerah

f. Pengeluaran Daerah

g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri oleh pihak lain berupa uang, surat berharga,piutang barang serta hak lain yang dapat dinilai dengan uang termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.

h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah dan/atau kepentingan umum, kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Tetapi kenyataannya audit intern yang dilakukan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah ( APIP ), tidak berjalan secara efektif dalam rangka menciptakan Clean Goverment, hal ini disebabkan belum adanya undang-undang Sistem Pengawasan Nasional, dimana dasar hukum yang mengatur APIP ( Internal Audit ) didasarkan berbagai aturan sehingga menjadi tidak terpadu dalam pelaksanaan kegiatan auditnya, yaitu :

- BPKP : Keppres No.103 Tahun 2001

- Itjen : Keppres No.109 Tahun 2001

- Bawasda : PP No. 79 Tahun 2004

- SPI pada BUMN : UU No. 19 Tahun 2003

Sehingga banyak pengawas yang tumpang tindak, untuk mengatasi permasalah perusahaan tersebut pemerintah perlu mengefektipkan kembali fungsi BPKP sebagai koordinator pengwasan.

Pasal 6 UU No.17 Tahun 2003 Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan Negara sebagaian dari kekuasaan pemerintah, ini berarti Presiden perlu adanya koordinator pengawas Internal ( BPKP) sekaligus juga melakukan pemeriksaan jika diperlukan karena sesuai UU dalam ketentuan yang berlaku Presiden tidak bisa menugaskan BPK, sehingga apabila peranan BPKP dapat berjalan maksimal diharapkan dapat menciptakan Clean Governent dilingkungan pemerintah termasuk pemerintah daerah.

Audit Internal dilingkungan pemerintah daerah yang dilakukan oleh Bawas/Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Walikota diharapkan mampu untuk meningkatkan kinerja dilingkungan pemerintah daerah.

Mengacu pada PP No.8 Tahun 2006 tentang pelaporan keuangan kinerja Instansi pemerintah pasal 33 ayat (3) Aparat pengawas Intern Pemerintah Daerah melakukan reviu atas laporan keuangan dan kinerja Pemerintah Daerah dalam rangka menyakinkan keandalaninformasi yang disajikan sebelum disampaikan oleh Gubernur/Bupati/Walikota kepada pihak-pihak terkait, ini menunjukkan bahwa pemerintah sungguh-sungguh memberdayakan aparat audit intern Daerah Bawas/Inspektorat Provinsi/Kab/Kota untuk dilibatkan dalam upaya menciptakan Clean Governent.

3. Pengawasan Legisltif

Pengawasan yang dilakukan oleh DPRD terhadap pemerintah daerah sesuai tugas, wewenang dan haknya.

Sebagaimana diatur dalam undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara/daerah Lembaga Perwakilan Rakyat daerah menindak lanjuti hasil pemeriksaan BPK dengan melakukan pembahasan sesuai dengan kewenangannya dan DPRD dapat meminta pemeriksaan lanjutan kalau dianggap perlu.

Disamping itu meminta kepada pemerintah daerah ( Gubernur/Bupati/Walikota) untuk menindah lanjuti hasil pemeriksaan.

Pasal 21 Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

4. Pengawasan Masyarakat

Pengawasan yang dilakukan masyarakat asdalah merupakan pengawasan baik secara lesan maupun tulisan

MEKANISME PENGAWASAN PENGELOLAAN ANGGARAN

I. PENDAHULUAN

Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah adalah menjalankan Otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,pelayanan umum dan daya saing daerah.

Untuk menjamin pelaksanaan jalannya Pemerintah Daerah berjalan dengan baik maka DPRD mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengawasan.

Sebagaimana bagian utuh dari manajemen Pemerintah Daerah, pengawasan berfungsi untuk menjamin supaya realisasi atau kegiatan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Kenyataan menunjukkan bahwa rencana dalam Lingkungan Pemerintah Daerah tidak hanya terdiri dari satu jenis atau ragam saja. Kita menemukan berbagai macam dokumen perencanaan yang dalam banyak hal harus dijalankan oleh Pemerintah Daerah secara simultan.

Oleh karena rencana merupakan dasar bagi pengawasan, maka pemahaman atas karakteristik dan coverage ( cakupan) dari setiap rencana menjadi hal yang penting sehingga dapat meningkatkan efektivitas pengawasan, khususnya yang dilakukan DPRD dan Badan Pengawas/Inspektorat Provinsi/Kab/Kota..

Dengan demikian rencana daerah berguna sebagai pedoman atau pengaruh bagi kegiatan-kegiatan Pemerintah Daerah di masa depan. Evaluasi terhadap pelaksanaan rencana daerah dapat mencakup banyak hal, telaah terhadap pelaksanaan rencana daerah dapat dipusatkan pada dua hal pokok, yakni mengenai isi rencana daerah dan konteks rencana daerah, maka konteks rencana berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan rencana, baik yang bersifat internal maupun eksternal lokal maupun nasional dan global.

Dalam bahasa analisis disebut kebijakan publik, jika tidak ada yang beda antararealisasi dengan rencananya maka disimpulkan bahwa rencana daerah terlaksana dengan baik. Pada tataran yang konkrit kesimpulan ini ditarik berdasarkan ukuran-ukuran indikator yang telah ditetapkan sebelumnya, dan ukuran tersebut built in ( melekat ) dalam rencana daerah.

_____________________________

1. Pasal 42 ayat (1) huruf C UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, DPRD mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Kepala Daerah, APBD kebijakan Pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerja sama internasional di daerah.

II. MEKANISME PENGAWASAN

Kegiatan-keegiatan DPRD dalam kerangka pengawasan daerah mengikuti berbagai mekanisme sesuai dengan jenis rencana daerah, macam kegiatan yang dilakukan pemerintah daerah, periode pengawasan dan sumber informasi bagi pengawasan, selain selaras dengan peraturan tata tertib DPRD. Uraian singkat mengenai empat jenis mekanisme pengawasan DPRD disajikan sebagai berikut :

1. Jenis Rencana Daerah.

a. Pengawasan DPRD terhadap pelaksanaan APBD dilakukan pada akhir tahun anggaran.

b. Pengawasan DPRD terhadap RENSTRA Unit Kerja dijalankan hanya pada kegiatan atau program yang dananya berasal dari APBD setempat.

2. Macam kegiatan Pemerintah Daerah

a. Pengawasan DPRD ditujukan pada kegiatan-kegiatan dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi.

b. Pengawasan DPRD pada kegiatan-kegiatan yang dijalankan berdasarkan kerja sama Pemerintah Daerah dengan pihak ketiga.

3. Periode Pengawasan

a. Pengawasan Periodik yang dijalankan DPRD pada setiap akhir tahun masa jabatan.

b. Pengawasan insidentil, yang dijalankan DPRD dalam kerangka fungsi monitoring.

4. Sumber Informasi Pengawasan

Pengawasan DPRD dijalankan berdasarkan masukan dari media masa, laporan pribadi, laporan masyarakat termasuk LSM dan organisasi sosial kemasyarakatan serta laporan dari Lingkungan Pemerintah Daerah.

Selanjutnya, DPRD dalam menjalankan fungsi pengawasan mau tidak mau harus memperhatikan peraturan yang berlaku, yang antara lain menyebutkan :

_____________________________

2. Pengukuran terhadap kinerja pemerintah daerah dapat dilakukan dengan menggunakan tiga kategori indikator,yakni indikator proses, indikator program dan indikator produk.

1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dipakai sebagai rujukan dalam menyusun Kebijakan Umum Anggaran ( KUA ) diaktualisasikan Dalan Rencana Kerja Pemerintah Daerah dan laporan pertanggung jawaban Kepala Daerah kepada DPRD. Subtansi yang termuat dalam RENTRADA hanya program dan kegiatan yang (akan) dibiayai oleh APBD setempat saja. Program kegiatan dan tugas lain yang dilaksanakan Kepala Daerah dalam rangka dekonsentrasi dan tugas pengawasan (akan) dipertanggungjawabkan oleh Kepala Daerah kepada Pemerintah Pusat.

2. Kebijakan Umum Anggaran ( KUA ) khusus memuat hanya program dan kegiatan yang (akan) dibiayai oleh APBD setempat.

3. RENSTRA Dinas yang diaktualisasikan dalam RKA-SKPD yang kemudian menjadi DPA-SKPD mencakup baik kegiatan Belanja Langsung dan Belanja Tak Langsung baik yang dibiayai dari APBN Dikonsentrasi ) maupun APBD setempat

III. Pengawasan Daerah

Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintah daerah dilaksanakan oleh pemerintah meliputi :

1. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintah di Daerah

2. pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah .³

Pembinaan dan Pengawasan atas Penyel;enggaan Pemerintah Daerah, ada 4 macam pengawasan yakni :

1. Penagawasan Reprensip

2. Pengawasan Fungsional

3. Pengawasan Legislatip dan

4. Pengawasan Masyarakat.

I. Pengawasan Represip

Penagawasan yang dilakukan terhadap kebijakan yang telah ditetapkan daerah baik berupa peraturan daerah, keputusan kepala daerah, keputusan DPRD maupun keputusan pimpinan DPRD dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah.

Alur pengawasan

3. Pengawasan Fungsional

Pengawasan fungsional dilakukan oleh Badan / Inspektorat dilingkungan Departemen/Lembaga Unit yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan, pengujian, penyusunan dan penilaian ada 2 macam pengewasan fungsional yaitu :

2.1 Ekternal Audit

2.2 Internal Audit

2.1 Ekternal Audit

Sebagaimana diatur dalam undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjadi pengawasan ekternal Pemerintah yaitu melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara/daerah, yang meliputi unsur keuangan 4.

Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh Akuntan publik berdasarkan ketentuan undang-undang , laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan.

Dalam melakukan pemeriksaan BPK, melakukan pemeriksaan atas 3 hal yaitu :

- Pemeriksaa keuangan, pemeriksaan atas laporan keuangan

- Pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan kinerja negara/daerah yang terdiri dari pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas.

- Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, suatu bentuk pemeriksaan yang tidak termasuk 2 pemeriksaan diatas.

- Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat disampaikan oleh BPK kepada DPR, dan laporan hasil pemeriksaan atas keuangan pemerintah daerah disampaikan oleh BPK kepada DPRD, laporan hasil pemeriksaan tersebut oleh BPK disampaikan paling lambat 2 bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah pusat / daerah. Disamping itu laporan tersebut juga disampaikan kepada Presiden untuk keuangan negara dan kepada Gubernu/Bupati/Walikota untuk keuangan daerah.

2.2. Internal Audit

Pemeriksaan yang dilakukan oleh aparat pengawas internal pemerintah adalah suatu identifikasi masalah, analisis dan evaluasi yang dilakukan secara independen obyektif dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan untuk menilai beberapa kecermatan kredibilitas dan kendala informasi mengenai penjumlahan dan tanggung jawab keuangan negara/daerah dan aparat pengawasan fungsional pemerintah wajib menyampaikan laporan hasil pemeriksaan kepada BPK. Sebagaimana diatur dalam pasal 222 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pelaksanaan pemeriksaan dilakukan secara berjenjang. Pemeriksaan atas pengelolaan keuangan daerah pemerintah provinsi dikoordinasikan kepada Menteri Dalam Negeri cq. Inspektorat Jendral Depdagri, untuk kabupaten/kota dikoordinasikan kepada Gubernur cq. Badan Pengawas Provinsi sedangkan untuk kecamatan dikoordinasikan kepada Bupati/Walikota cq. Badan Pengawas Kab/Kota setempat. Untuk alur pemeriksaan keuangan daerah meliputi :

_________________________________________________________

4. Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara pasal 2 yang berbunyi sebagai berikut : Keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angak 1 meliputi :

a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan menggunakan uang dan melakukan pinjaman

b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan dan negara dan membayar tagihan pihak ketiga

c. Penerimaan Negara

d. Pengeluaran Negara

e. Penerimaan Daerah

f. Pengeluaran Daerah

g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri oleh pihak lain berupa uang, surat berharga,piutang barang serta hak lain yang dapat dinilai dengan uang termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.

h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah dan/atau kepentingan umum, kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Tetapi kenyataannya audit intern yang dilakukan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah ( APIP ), tidak berjalan secara efektif dalam rangka menciptakan Clean Goverment, hal ini disebabkan belum adanya undang-undang Sistem Pengawasan Nasional, dimana dasar hukum yang mengatur APIP ( Internal Audit ) didasarkan berbagai aturan sehingga menjadi tidak terpadu dalam pelaksanaan kegiatan auditnya, yaitu :

- BPKP : Keppres No.103 Tahun 2001

- Itjen : Keppres No.109 Tahun 2001

- Bawasda  : PP No. 79 Tahun 2005

- SPI pada BUMN : UU No. 19 Tahun 2003

Sehingga banyak pengawas yang tumpang tindak, untuk mengatasi permasalah perusahaan tersebut pemerintah perlu mengefektipkan kembali fungsi BPKP sebagai koordinator pengwasan.

Pasal 6 UU No.17 Tahun 2003 Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan Negara sebagaian dari kekuasaan pemerintah, ini berarti Presiden perlu adanya koordinator pengawas Internal ( BPKP) sekaligus juga melakukan pemeriksaan jika diperlukan karena sesuai UU dalam ketentuan yang berlaku Presiden tidak bisa menugaskan BPK, sehingga apabila peranan BPKP dapat berjalan maksimal diharapkan dapat menciptakan Clean Governent dilingkungan pemerintah termasuk pemerintah daerah.

Audit Internal dilingkungan pemerintah daerah yang dilakukan oleh Bawas/Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Walikota diharapkan mampu untuk meningkatkan kinerja dilingkungan pemerintah daerah.

Mengacu pada PP No.8 Tahun 2006 tentang pelaporan keuangan kinerja Instansi pemerintah pasal 33 ayat (3) Aparat pengawas Intern Pemerintah Daerah melakukan reviu atas laporan keuangan dan kinerja Pemerintah Daerah dalam rangka menyakinkan keandalaninformasi yang disajikan sebelum disampaikan oleh Gubernur/Bupati/Walikota kepada pihak-pihak terkait, ini menunjukkan bahwa pemerintah sungguh-sungguh memberdayakan aparat audit intern Daerah Bawas/Inspektorat Provinsi/Kab/Kota untuk dilibatkan dalam upaya menciptakan Clean Governent.

3. Pengawasan Legisltif

Pengawasan yang dilakukan oleh DPRD terhadap pemerintah daerah sesuai tugas, wewenang dan haknya.

Sebagaimana diatur dalam undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara/daerah Lembaga Perwakilan Rakyat daerah menindak lanjuti hasil pemeriksaan BPK dengan melakukan pembahasan sesuai dengan kewenangannya dan DPRD dapat meminta pemeriksaan lanjutan kalau dianggap perlu.

Disamping itu meminta kepada pemerintah daerah ( Gubernur/Bupati/Walikota) untuk menindah lanjuti hasil pemeriksaan.

Pasal 21 Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.




Pengawasan Masyarakat



Adalah suatu pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat baik secara perorangan maupun kelompok (organisasi kemasyarakatan/LSM). Pengawasan masyarakat dilakukan secara lesan, yaitu dengan menyampaikan permasalahan yang ada kepada pemerintah dan DPR/DPRD juga dapat dilakukan secara tertulis yang disampaikan kepada instansi terkait. kecenderungan yang ada sekarang justru pengawasan masyarakat menjadi tumpuan dalam upaya pemberantasan korupsi ini dikarenakan aparat pengawasan yang ada baik itu lembaga pengawsan maupun aparat penegak hukum belum mampu melaksanakan fungsinya secara maksimal.




I. Penutup

Pengawasan yang dijalan DPRD merupakan fungsi yang sangat penting dalam manajemen pemerintah daerah. Efektivitas pemerintah tergantung pada kualitas rencana daerah, tersedianya indikator pengukur keberhasilan kegiatan kompetentesi pengawas dan lingkungan yang kondusip bagi terlaksananya pengawasan.