Jumat, 03 Juli 2009

” TRANSPARANSI BELANJA BARANG/JASA SEBAGAI LANGKAH AWAL MENGIKIS BUDAYA KKN ; PERAN KEPPRES 80/2003 DAN ATURAN PENDUKUNGNYA ”

Mengikis atau mencegah praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) atau fraud di sektor korporat publik/lembaga pemerintah konon masih lebih sulit dibandingkan di sektor privat walaupun sebetulnya di Pemerintahan perangkat peraturan perundang-undangan yang ada dari Undang-undang, Keppres sampai dengan Peraturan Daerah cukup lengkap, masih ditambah ada Aparat Pengawas baik Eksternal (BPK) maupun Internal (BPKP/Itjen/Inspektorat Daerah) tetapi penanganan penyimpangan dan tindakan hukumnya tidak tuntas dan tidak diyakini efektivitasnya. Praktek fraud/penyimpangan di sektor pemerintahan biasanya melibatkan berbagai pihak, sehingga kecenderungannya akan sulit dideteksi dan apabila terdeteksi seringkali tindak lanjutnya tidak seperti yang diharapkan banyak pihak yang menginginkan sirnanya praktek fraud.

Menyikapi hal tersebut perlu adanya transparansi kebijakan dalam mengikis setiap jengkal praktek fraud/budaya KKN dalam Pengadaan Barang/Jasa, sehingga perlu adanya penegakan aturan Keppres No 80 tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah beserta perubahannya yang meliputi :
1. Keppres No 61 Tahun 2004 ;
2. Perpres No 32 Tahun 2005 ;
3. Perpres No 70 Tahun 2005 ;
4. Perpres No 8 Tahun 2006 ;
5. Perpres No 79 Tahun 2006 ;
6. Perpres No 85 Tahun 2006 ;
7. Perpres No 95 Tahun 2007.


Dalam Keppres No 80 tahun 2003 disebutkan bahwa tujuan pengadaan barang/jasa adalah untuk memperoleh barang/jasa dengan harga yang dapat dipertanggungjawabkan mengenai jumlah dan mutu serta tepat waktu, sehingga dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa harus terpenuhi 7 kriteria yaitu :
1. Efisien
    Pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan         tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu.    

2. Efektif
     Merupakan pencapaian hasil Program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara      membandingkan keluaran dengan hasil.

3. Terbuka dan Bersaing
     Adanya keterbukaan dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa dengan harapan masyarakat      pengusaha dapat melakukan persaingan yang sehat sehingga penunjukan rekanan                          Pemerintah dijamin dalam pelaksanaannya tidak bermasalah.

4. Transparan
     Prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat/yang berkompeten untuk mengetahui      dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang pengadaan barang dan jasa.

5. Adil/Tidak Diskriminatif
    Terjadi keseimbangan distribusi kewenangan dalam pengadaan barang/jasa dimana                       penetapan rekanan Pemerintah berdasarkan pertimbangan rasional dan tidak diskriminatif         yang berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6. Akuntabel
    Merupakan satu bentuk perwujudan pertanggungjawaban pengelolaan pengadaan barang dan     jasa dan juga merupakan satu bentuk pengendalian dan pelaksanaan kebijakan dalam rangka       pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

Walaupun secara normatif pengelolaan keuangan Negara/Daerah termasuk pelaksanaan pengadaan barang dan jasa telah diatur dengan peraturan perundang-undangan yang meliputi Undang-undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-undang No 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara serta Peraturan Pemerintah No 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Keppres No 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, namun kenyataannya masih terdapat beberapa permasalahan dalam pelaksanaan yang dapat menghambat kegiatan Pemerintahan/ Pembangunan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.
Permasalahan yang dapat terjadi antara lain :

1. Aturan belum ada sehingga proses belum berjalan karena Pelaksana Kegiatan ragu untuk bertindak ;

2. Sudah ada aturan dan proses sudah berjalan tetapi belum ada komitmen/kontrak/SPK sehingga Pelaksana Kegiatan ragu untuk menyelesaikan kegiatan ;

3. Aturan yang ada tumpang-tindih dan/atau bertentangan satu sama lain sehingga Pelaksana Kegiatan ragu untuk bertindak.
Contoh masalah :
1. Aturan belum ada
Apabila terjadi keadaan kahar maka penyedia barang/jasa memberitahukan dalam waktu 14   hari dari hari terjadinya keadaan kahar dengan menyertakan pernyataan keadaan kahar dari instansi yang berwenang.

Catatan : belum jelas instansi mana yang menetapkan keadaan kahar. Misalnya keadaan kahar untuk gangguan industri lainnya. Serta jika terjadi kerugian akibat keadaan kahar berapa porsi yang ditanggung pemerintah dan ditanggung oleh penyedia barang/jasa. Prosentase keuntungan yang wajar.

2. Sudah ada aturan dan proses sudah berjalan tetapi belum ada komitmen/kontrak/SPK sehingga pelaksana kegiatan ragu untuk bertindak

Proses lelang sudah dilakukan dan sudah ditentukan pemenangnya, tiba-tiba terjadi kenaikan harga BBM yang ditetapkan oleh Pemerintah, Penyedia Jasa menginginkan penyesuaian harga sebelum kontrak ditandatangani.
Contoh : proyek listrik dan jalan tol. Apabila dalam pelelangan ulang, jumlah penyedia barang/jasa yang lulus prakualifikasi hanya 1 maka dilakukan permintaan penawaran dan negoisasi seperti pada proses penunjukan langsung. Proses sudah dilalui sesuai ketentuan, namun pejabat pengadaan ragu untuk menetapkan pemenang karena dilakukan melalui penunjukan langsung dan ada sanggahan dari peserta.

3. Aturan sebagian jelas dan sudah ada komitmen/kontrak/SPK tetapi pelaksana kegiatan ragu untuk menyelesaikan kegiatan. Masalah pembebasan dan ganti rugi tanah proyek pemerintah. Penyesuaian harga satuan bagi komponen pekerjaan yang berasal dari luar negeri dan dibayar dengan valuta asing menggunakan indeks penyesuaian harga dari negara asal barang tersebut. Keraguan mengenai sumber indeks, mengingat BPS tidak menyediakan informasi indeks dari negara asal. Pemutusan kontrak dilakukan bilamana para pihak terbukti melakukan kolusi, kecurangan atau tindak korupsi baik dalam proses pemilihan penyedia barang/jasa maupun pelaksanaan pekerjaan. Apakah pemutusan dilakukan setelah inkracht.

4. Aturan yang ada tumpang tindih dan/atau bertentangan satu sama lain sehingga pelaksana kegiatan ragu untuk bertindak. Persyaratan mengenai Sertifikat Badan Usaha untuk jasa konstruksi (UU No 18 Tahun 1989) tidak tercakup dalam persyaratan dalam Keppres No 80 Tahun 2003. Dalam penggunaan indeks untuk penyesuaian harga satuan, menurut Keppres bersumber dari penerbitan Badan Pusat Statistik (BPS), sementara menurut Permenkeu 105/2005 menggunakan indeks lokal. Pengadaan barang/jasa yang bersifat rutin, seperti pemeliharaan gedung kantor. Pengesahan anggaran terlambat (baru turun paling cepet bulan April) sehingga kegiatan belum dapat dilaksanakan sehingga berpotensi mengalami kelambatan.
Kesimpulan
Melihat permasalahan Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah termasuk pengadaan barang dan jasa sebetulnya secara normatif cukup banyak peraturan yang mengatur. Permasalahan justru muncul masih terkesan adanya tumpang tindih aturan serta masih kurangnya aturan teknis setingkat Menteri yang mengatur lebih lanjut tentang proses pengadaan barang dan jasa secara lengkap, walaupun dari sisi kualitas pengadaan barang dan jasa pada akhir-akhir ini lebih baik. Mengingat bahwa korupsi adalah suatu masalah yang bersifat tersembunyi (sengaja disembunyikan) maka peranan Pengawasan baik dari Pemerintah maupun masyarakat harus lebih ditingkatkan, dimana keberhasilan Pengawasan ditandai adanya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Akan musykil bagi pengawasan untuk memberantas korupsi jika masyarakat sendiri sebagai wadah sosial yang diwacanakan mendambakan kebersihan dan sumber moralitas ternyata lebih digerakkan oleh sikap dan mentalitas yang permisif, tidak perduli dan bahkan aktif untuk menyuburkan niat, kesempatan dan pembenaran korupsi. Dalam keadaan begini mempersoalkan korupsi mungkin harus diawali dengan pertanyaan ”Apakah kita, aparat Pemerintah, Pengawas atau bukan Pengawas dan masyarakat awam secara keseluruhan memang masyarakat yang masih konsisten dan konsekuen peduli akan pemberantasan korupsi ?”


Minggu, 15 Maret 2009

Pendekatan pengendalian manajemen

Pendekatan pengendalian manajemen

Di akhir tahun 1980an Goold and Campbell (1987) menghasilkan sebuah terobosan di dalam kemampuan manajemen untuk menghasilkan suatu nilai tambah. Berdasarkan Goold et al. (1994) kemampuan untuk menghasilkan nilai tamnah bagi pengendalian manajemen ini dikelompokkan dalam jenis yang berbeda-beda sehingga dinamakan dengan parenting style atau gaya parenting, di mana parenting berarti mekanisme dimana holding company dapat menyeimbangkan pemanfaatan sumber daya guna mengoptimalkan efektivitas unit bisnis. Biasanya gaya parenting ini dibangun berdasarkan kesesuaian visi, analisis SWOT, analisis kematangan portfolio, dan juga kepemilikan saham dalam unit bisnis. 

Dalam gaya parenting ini, perencanaan strategis perusahaan dan kegiatan berkesinambungan sangat diutamakan. Di sisi lain sistem pengendalian manajemen perusahaan dilakukan secara trperinci. Namun dalam hal ini, apa yang menjadi kebutuhan manajemen, terkait dengan sistem pengendalian tersebut, kemungkinan akan berbeda jika dilakukan pada industri tingkat bisnis dibanding dengan tingkat korporat. Dalam hal ini syarat yang dibutuhkan untuk menghasilkan perencanaan dalam koordinasi manajemen secara terus-menerus menjadi lebih sulit pada kelompok korporat secara keseluruhan terkait dengan batasan untuk mengubah gaya parenting. 

Untuk mengetahui seluk beluk tentang gaya parenting dan hubungannya dengan sistem pengendalian manajemen serta penggunaannya dalam menghasilkan nilai tambah maka berdasarkan hasil pengamatan pada kelompok korporatdi Swedia bahwa keberhasilan dari gaya parenting terletak pada karakteristik dalam prinsip keseimbangan manajemen perusahaan, antara sistem pengendalian dengan kebutuhan pada unit bisnis pada kondisi tertentu terkait sistem pengendalian.

Pertumbuhan dari total tingkat pengembalian saham para pemegang saham selama dekade terakhir telah menghasilkan terobosan baru bagaimana perusahaan membuat nilai tambah untuk para pemegang saham. Dalam hal ini terdapat dua konsep yang mendapat perhatian lebih banyak, yaitu strategi perusahaan dan potensial sinergi. Goold and Campbell (1987a, 1998) terkait dengan dua konsep tersebut mengemukakan tentang pentingnya hubungan antara aktivitas perusahaan tingkat unit bisnis dengan kemampuan manajemen perusahaan untuk membuat nilai tambah dengan mendesain sistem perencanaan yang sesuai dan berkesinambungan yang hal ini untuk menunjukkan seberapa penting konsep tersebut terkait dengan pengendalian manajemen.

Berdasarkan pengaruh perencanaan dan pengendalian, parenting style ini dapat dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu strategic planning style, strategic control style, serta financial control style. Dalam strategic planning style, sebuah holding company terlibat secara mendalam dalam penyusunan rencana serta memberikan kejelasan arah pada saat penyusunan strategi bagi unit bisnisnya. 

Dalam strategic control style, pemegang saham perusahaan mendesentralisasikan tanggung jawab membangun perencanaan dan strategi kepada masing-masing unit bisnis, namun menjalankan proses pengendalian yang ketat yang menekankan pada profitabilitas jangka pendek. 

Sementara itu, dalam financial control style, perencanaan didesentralisasi, pemegang saham perusahaan berfokus pada dukungan manajemen perusahaan dan pengendalian finansial. Setiap unit bisnis merupakan entitas yang berdiri sendiri dengan tingkat otonomi yang cukup serta tanggung jawab yang penuh untuk merumuskan strategi dan rencana mereka sendiri. Fase berikutnya adalah pengendalian kinerja. Perlu disusun sistem pengendalian manajemen (management control sistem), yaitu sebuah sistem manajemen perusahaan terintegrasi yang digunakan dalam aktivitas perencanaan dan sesudahnya bagi aktivitas pengukuran, pengendalian, pemantauan, dan auditing


Jumat, 06 Maret 2009

Pokok-pokok Penatausahaan Keuangan Daerah

Di dalam pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebut bahwa Presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Kewenangan yang bersifat umum meliputi penetapan arah, kebijakan umum, strategi, dan prioritas dalam pengelolaan APBN, antara lain penetapan pedoman pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBN, penetapan pedoman penyusunan rencana kerja kementrian Negara/lembaga Penerimaan Negara. Kewenangan yang bersifat khusus meliputikeputusan/kebijakan teknis yang berkaitan dengan pengelolaan APBN, keputusan siding cabinet di bidang pengelolaan APBN, keputusan rincian APBN, keputusan dana perimbangan, penghapusan asset dan piutang Negara dan di pasal 6 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dijelaskan pula mengenai penetapan dan pedoman APBD yaitu, penetapan dan pedoman pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBD. Ruang lingkup pengelolaan keuangan daerah mencangkup keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Perbedaan siklus pelaksanaan APBD dan penatausahaan antara Kepmendagri nomor 29 tahun 2002 dengan Permendagri nomor 13 tahun 2007



Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah

penetapan para pengelola keuangan daerah merupakan salah satu syarat pelaksanaan anggaran. Dalam pelaksanaannya kepala daerah melimpahakan sebagian wewenang kepada sekretaris daerah untuk bertindak selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah. Sekretaris daerah mempunyai tugas koordinasi di bidang penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan APBD, menyiapakan pedoman pelaksanaan APBD, dan memberikan persetujuan pengesahan DPA-SKPD


Bendahara penerimaan pada SKPD wajib mempertanggungjawabkan secara administratif atas pengelolaan uang yang menjadi tanggung jawabnya dengan menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan kepada pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran melalui PPK-SKPD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Bendahara penerimaan pada SKPD wajib mempertanggung jawabkan secara fungsional atas pengelolaan uang yang menjadi tanggung jawabnya dengan menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan kepada PPKD selaku BUD paling lambat 10 bulan berikutnya.


Dalam hal obyek pendapatan daerah tersebar atas pertimbangan kondisi geografis wajib pajak dan/atau wajib retribusi tidak mungkin membayar kewjibannya langsung pada badan, lembaga keuangan atau kantor pos yang bertugas melaksanakn sebagaian tugas dan fungsi bendahara penerimaan, dapat ditunjuk bendahara penerimaan pembantu. Bendahara penerimaan pembantu wajib menyelenggarakan penatausahaan terhadap seluruh penerimaan dan penyetoran atas penerimaan yang menjadi tanggung jawabnya. Penatausahaan atas penerimaan pada bendahara penerimaan pembantu menggunakan buku kas umum dan buku kas penerimaan harian pembantu. Bendahara penerimaan pembantu wajib menyampaikan laporan pertanggungjawabannya kepada bendahara penerimaan paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya dan bendahara penerimaan wajib melakukan verifikasi, evaluasi dan analisis atas laporan pertanggungjawaban tersebut.


Bendahara

Kepala daerah atas usul PKD menetapkan bendahara penerimaan untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan pada SKPD dan bendahara pengeluaran untuk melaksanakan tugas kebendaharan dalam rangka melaksanakan anggaran belanja belanja pada SKPD. Bendahara penerimaan adalah pejabat fungsional yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan , dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan daerah dalam rangka pelaksanaan APBD pada SKPD. Bendahara pengeluaran adalah pejabat fungsional yang tugasnya adalah ditunjuk untuk menerima, kemudian menyimpan, menyetorkan, menatausahakan , dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja daerah dalam rangka pelaksanaan APBD pada SKPD.

Penatausahaan Pengeluaran

Setelah penetapan anggaran kas, PPKD dalam rangka manajemen kas menerbitkan SPD. Surat Penyediaan Dana (SPD) adalah dokumen yang menyatakan tersedianya dana untuk melaksanakan kegiatan sebagai dasar penerbitan SPP. SPD disiapkan oleh kuasa BUD ntuk ditandatangani oleh PPKD. Pengeluaran kas atas beban APBD dilakukan berdasarkan SPD atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SPD. Berdasarkan dSPD atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SPD, bendahara pengeluaran mengajukan SPP kepada pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran melalui PPK-SKPD. Surat Permintaan Pembayaran (SPP) adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan/bendahara pengeluaran untukmengajukan permintaan/bendahara pengeluaran untuk mengajukan permintaan pembayaran SPP


Bendahara penerimaan maupun bendahara pengeluaran secara fungsional bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada PPKD selaku BUD dan secara administratif bertanggung jawab kepada pengguna anggaran


Akuntansi Keuangan Daerah pada SKPKD

Prosedur akuntansi penerimaan kas pada SKPKD meliputi serangkaian proses mulai dari pencatatan,pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan keuangan yang berkaitan dengan penerimaan kas dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang dapat dilakukan secara manual atau menggunakan aplikasi komputer.


Bendahara pengeluaran pembantu wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban pengeluaran kepada bendahara pengeluaran paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya. Bendahara pengeluaran pada SKPD wajib mempertanggungjawabkan secara fungsional atas pengelolaan uang yang menjadi tanggung jawabnya dengan menyampaikan laporan pertanggungjawaban pengeluaran kepada PPKD selaku BUD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Penyampaian pertanggungjawaban bendahara pengeluaran secara fungsional dilaksankan setelah diterbitkan surat pengesahan pertanggungjawaban pengeluaran oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran.


Penyusutan merupakan penyesuain nilai sehubungan dengan penurunan kapasitas dan manfaat dari suatu aset tetap. Setiap aset tetap kecuali tanah dan konstruksi dalam pengerjaan dilakukan penyusutan yang sistematis sesuai dengan masa manfaatnya. Metode penyusutan yang dapat digunakan antara lain: metode garis lurus, metode saldo menurun ganda, dan metode unit produksi. Penetapan umur ekonomis aset tetap dimuat dalam kebijakan akuntansi berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Bukti transaksi yang digunakan dalam prosedurakuntansi aset berupa bukti memorial dilampir dengan: berita acara penerimaan barang, berita acara serah terima barang, dan berita acara penyelesaian pekerjaan.


Penatausahaan Penerimaan

Penerimaan daerah dianggap sah jika penerimaan daerah disetor ke rekening kas umum daerah pada bank pemerintah yang ditunjuk dan dianggap sah setelah kuasa BUD menerima nota kredit. Penerimaan daerah yang disetor ke rekening kas umum daerah dilakukan


Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK)

Pejabat Pelaksa Teknis Kegiatan yang selanjutnya disingkat PPTK adalah pejabat pada unit kerja SKPD yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu program sesuai dengan bidang tugasnya. Pejabat pengguna anggran/ kuasa pengguna anggaran dalam melaksanakan program dan kegitan menunjuk pejabatpada SKPD selaku PPTK.

Pengguna Anggaran/Barang

Pengguna anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi satuan kerja perangkat daerah(SKPD) yang dipimpinnya. Satuan Kerja Perangkat Daerah adalah perangkat daerah pada pemerintah daerah selaku pengguna anggaran/ pengguna barang